
“Tolong beri aku waktu! Beri aku kesempatan.”
Kadang kita tak hentinya meminta waktu, meminta kesempatan
lagi kepada orang lain, kepada semesta, bahkan kepada Tuhan. Sebuah kesalahan
yang sudah kamu lakukan, jika itu diperbuat tanpa ada unsur kesengajaan, hanya
mengikuti kata hati, dan itu salah, maka kamu pasti ingin memperbaikinya
sepenuh hati.
Namun apa daya? Waktu itu sudah dirancang Tuhan dan
dieksekusi semesta berputar searah jarum jam, atau perputaran jarum jam itu
sendiri yang mengikuti arah berjalannya waktu. Entahlah, yang pasti waktu terus
berjalan, ke depan. Kata “seandainya” takkan pernah habis terlintas dalam benak
seseorang yang sudah melakukan kesalahan, tanpa ia sengaja. Kata tersebut
sepertinya bergandengan dengan benda nista bernama penyesalan.
Tak sepenuhnya nista. Dalam sebuah penyesalan, meskipun
selalu datang terlambat, justru keterlambatan itu yang membuat kita harus lebih
berhati-hati. Kamu mungkin bisa memutar jarum jam ke arah yang sebaliknya,
tetapi kamu tak akan pernah bisa memutar waktu kembali. Semuanya tak akan
pernah sama lagi.
Jika kamu bersungguh memperbaiki kesalahan, maka hal paling
masuk akal setelah melewati semua fase “denial” dengan segala
“seandainya” dan penyesalan adalah tetap melangkah ke depan, menjadikan yang di
belakang sebagai pelajaran. Seperti jarum detik yang terus berjalan, perlahan
mengajak jarum menit dan jam maju, melewati semua.
“Karena tak ada yang bisa memperbaiki kesalahan di masa
lalu selain perbuatanmu kini, dan di masa depan nanti. Untuk memulainya, kamu
sendirilah yang harus memberi waktu untuk dirimu sendiri.”
0 komentar:
Posting Komentar